Rabu, 01 Januari 2014

Al Ustadz Ayip Syafruddin

Membaca tulisan ustadz Abdul Barr Kaisinda berjudul: “Mengenal Sang Politikus Dakwah, Pemecah Belah Ahlus Sunnah
, Al Ustadz Lukman Ba’abduh”, sungguh sangat memprihatinkan. Padahal sering kita dengar pernyataan, bahwa kita tidak boleh mendahului para ulama. Apa yang dipaparkan ustadz Abdul Barr Kaisinda, senyatanya menelanjangi apa yang ada pada dirinya. Beliau menjarh ustadz Luqman Ba’abduh sedemikian keras. Tak sampai disitu, kebesaran nama ulama, Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Adeny hafizhahullah, pun beliau tarik guna memuaskan keinginannya tersebut. Betapa beliau begitu bernafsu ingin melibas keberadaan ustadz Luqman Ba’abduh dalam atmosfer dakwah salafiyah di Indonesia. Entah, apa yang memicunya hanya Allah Ta’ala yang Mahatahu.
Mari kita perhatikan untaian kalimat  ustadz Abdul Barr Kaisinda yang penuh letupan membara berikut:
“Sebelum saya kembali ke tanah air tercinta, Alhamdulillah, Allah berikan taufiq kepada saya untuk menyambangi guru kami Asy-Syaikh AbdurRahman Al-Adeny –hafidhohulloh. Pada kesempatan itu, beliau bertanya tentang perihal dakwah di Indonesia. Kemudian beliau bertanya kepada saya, “Siapa sekarang orang yang menggantikan posisi Ja’far Umar Thalib dalam dakwah? Maka saya katakan, “Luqman Ba’abduh ya Syaikh”. Kemudian beliau berkata :
أنا أخشى عليه وهو ليس بذاك وإندونيسيا بلدة كبيرة فيها أمة كبيرة تحتاج إلى واحد قوي يحتفون حوله
“Aku mengkhawatirkan dirinya, karena dia tidak sepantas itu, sedangkan Indonesia adalah negeri yang besar, padanya terdapat umat yang besar, membutuhkan seorang yang kuat (dalam ilmu), (untuk) kaum muslimin merujuk kepadanya.”
Dan ternyata setelah saya pulang ke Indonesia apa yang dikhawatirkan oleh Asy Syaikh Abdur Rahman benar adanya. Ketika orang yang tidak berilmu berbicara tentang agama maka dia akan sesat lagi menyesatkan.”
Bila kita cermati pernyataan di atas, ada beberapa hal yang mengganjal dalam benak.
Pertama, atas dasar apa ustadz Abdul Barr menyebut nama Luqman Ba’abduh saat ditanya siapa yang menggantikan posisi Ja’far Umar Thalib dalam dakwah? Bila seseorang ditanya, siapa salah seorang penasehat majalah Asysyariah, lantas ada yang menyebut, bahwa penasehat majalah Asysyariah adalah ustadz Luqman Ba’abduh. Tentu, itu jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan. Orang yang menjawab tersebut punya dasar pijak yang jelas dan tidak gegabah karena berdasar hasil musyawarah pengelola majalah Asysyariah menunjuk ustadz Luqman Ba’abduh sebagai penasehat.
Kini, apa yang jadi dasar pijak ustadz Abdul Barr sehingga beliau menyebut nama Luqman Ba’abduh? Mungkinkah beliau pernah mendapat kepastian berita bahwa salafiyin Indonesia bermusyawarah dan secara sepakat mengangkat nama Luqman Ba’abduh sebagai orang yang menggantikan Ja’far Umar Thalib dalam dakwah? Ah, rasanya kemungkinan ini musykil. Orang secerdas beliau tentu tak akan mudah percaya menerima berita seperti itu. Jadi, atas dasar apa –kalau begitu– sehingga beliau menyebut nama Luqman Ba’abduh? Atau, penyebutan nama Luqman Ba’abduh itu cuma akal-akalan ustadz Abdul Barr saja? Nah, untuk menjawab hal itu tentu tidak sulit selama beliau masih memiliki niat yang baik dan bersikap jujur. Kita akan tunggu alasan apa yang mendasari penyebutan nama Luqman Ba’abduh. Tentunya, alasan yang tidak direkayasa dan diatas  kejujuran.
Kenapa masalah ini diungkit? Karena beliau menyebut nama ulama dan menyangkut kehormatan dan nama baik seorang muslim. Sehingga pantas apabila pernyataan ustadz Abdul Barr tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan penuh kejujuran.
Kedua, apa sebenarnya motif penyebutan kisah tersebut? Sungguh, satu hal yang sangat tidak baik apabila peristiwa itu –kalau benar-benar terjadi– dipolitisir untuk menghancurkan kehormatan seseorang. Apalagi kehormatan seseorang yang namanya dikenal para ulama sebagai da’i Ahlu Sunnah. Bukan nama yang para ulama memiliki “catatan kelam” terhadapnya. Nah, sekarang. Bagaimana jika peristiwa itu sendiri tidak diakui kebenarannya lantas beliau tetap bersikukuh menyebarkan pada khalayak ramai? Tentu, ini merupakan tindakan tidak bertanggungjawab, jauh dari nilai kejujuran dan hanya orang yang tidak berakal sehat yang akan melakukannya.
Penyebutan kisah tersebut tentu akan memberi dampak yang tidak baik bagi dakwah salafiyah. Berbeda bila nama yang disebutkan telah dinyatakan ulama sebagai orang yang bermasalah dan umat diingatkan agar berhati-hari darinya. Maka untuk kasus semacam ini, tentu sebuah keharusan menjelaskan sepak terjang orang dimaksud agar umat tidak terpengaruh oleh dakwah dan seruannya.
Ketiga, sungguh sangat disayangkan bila kisah tersebut dijajakan dalam rangka “membalas” terhadap orang yang dianggap telah menelanjangi teman seiringnya. Padahal kalau kita mau sedikit saja berlapang dada dan bersikap tawadhu, niscaya enggan untuk “membalas”. Bukankah Allah Ta’ala akan meninggikan kedudukan orang yang bersikap tawadhu?
Hanya kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan dan bimbingan-Nya agar tetap kokoh dalam menaati-Nya.
Allahu a’lam.
29 Shafar 1435 H / 1 Januari 2014 M
http://dammajhabibah.net/