Sabtu, 11 Mei 2013

Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama



126. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah)
berkata :
“Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”
Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya
mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka
berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang
demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”
Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar
menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini
adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta
orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan
tajam (memiliki bashirah). Seandainya seseorang mendatangi saya dan
menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang
madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan
sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang
yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab
dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus tinggalkan dia
mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia
dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah
ucapannya yang rusak tersebut?”
Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku --semoga Allah
merahmatimu--. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang
seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :
Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan
kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap
istiqamah hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang
yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai
ucapan kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari
bencana yang menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan
yang menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang
dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda
rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti
inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-
jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing dan
menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang
shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang
tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat)
yang baik. Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan) terhadap
perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan
38Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net/
berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini
adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As
Sunnah. Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan
yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi
tidak dengan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan
obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan
keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya tidak dinasihati
manusia itu oleh orang yang menipu dirinya sendiri. Barangsiapa yang tidak
memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan
kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka
Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka
Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor
679)
127. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang
menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan
bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk
membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya :
“Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang
tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan
dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan
duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).
Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk)
kepada apa yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh
untuk membantah mereka karena sesungguhnya mereka akan mengelabui
kamu (dalam perdebatan itu) sedangkan mereka tetap tidak akan kembali.
Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah menjauhi majelis mereka dan tidak
memperdalam pembahasan (bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan
mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan
kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada masa mendatang
(yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan
hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan
karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan
berarti ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan
hujjah bagi perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang
bathil agar ia dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu.
Dan yang lebih berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya
dalam sebuah kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya
dengan perkara yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan
bukan seperti itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk
kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah 2/471-472 nomor 481)
128. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka
ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy
39Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net/
Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)
129. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb
mengatakan :
“Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena
sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu
yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu
membantah dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang
yang kamu lebih alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan
mendebat orang yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan
mentaati kamu, putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah 64)
130. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas
keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama
Abul Huriyyah menyusulnya --ia diduga seorang Murjiah-- katanya :
“Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu.
Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata :
“Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang
seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu
menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :
“Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu
agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)
131. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata :
Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi ilmu oleh Allah Azza wa
Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu
membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia
mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?”
Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang
telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?”
Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan
untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka
tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan
As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin.
Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah
yang tidak disukai ulama untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya
dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu.”
Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara
40Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net/
dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”
Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan
mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka
daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus
Shalih.”
41Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net/